PWM Jawa Timur - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Jawa Timur
.: Home > Berita > Mengenang Sang Guru Bangsa

Homepage

Mengenang Sang Guru Bangsa

Senin, 11-05-2015
Dibaca: 3470

 

Seorang pemimpin nasionalis berkebangsaan Belanda, P.F Dahler, menyebut Tjokro sebagai “Harimau Mimbar” karena pidatonya dapat memukau audiens sampai berjam-jam. Dengan postur tegap, penampilan berwibawa, dilengkapai dengan suara yang berat dan bahasa yang teratur, para hadirin bisa terpaku terpana kendati panas terik matahari menyengat. Lewat tangan dinginnya, para murid yang “berguru” kepada Tjokro mewarnai ragam corak pergerakan Indonesia: komunisme, islamisme, hingga nasionalisme.

Tjokroaminoto dilahirkan di Madiun, 16 Agustus 1882. Nama kecilnya adalah Oemar Said. Keluarganya dikenal sebagai priyayi yang terpandang. Ayahnya adalah Raden Mas Tjokromiseno, anak Raden Mas Tjokronegoro yang pernah menjadi Bupati Ponorogo. Ibunya adalah anak dari Kiai Bagus Kasan Besari, ulama terkenal dan berpengaruh di daerah itu.

“Eyang memang dari keluarga bangsawan. Jadi bisa dipastikan, pada masa kecil beliau tidak merasakan guncangan yang berarti. Landasan keislaman yang kuat tidak terlepas dari pengaruh Kiai Kasan Besari,” kata Ir Hariono Sigid, cucu dari HOS Tjokroaminoto kepada MATAN (21/4).

Omar Said muda menempuh pendidikan di OSVIA Magelang. Sekolah pencetak pamong praja ini menjadi harapan orangtua agar sang anak bisa hidup mapan di kemudian hari. Masa pendidikan ini dia tuntaskan pada usia 20 tahun. Tiga tahun berikutnya, dia bekerja sebagai juru tulis di Kepatihan Ngawi, bahkan menjadi patih. Tapi, tidak lama kemudian dia meninggalkan pekerjaanya tersebut dan pindah ke Surabaya.

“Ketika keluar dari pekerjaannya, eyang sempat dimarah-marahi orangtuanya. Sebab, menurut orangtuanya, seseorang yang bekerja di sektor pemerintahan akan hidup tenang, layak, dan juga terjamin. Tapi bagi eyang Tjokro, dia ingin lebih dari itu semua. Eyang justru ingin melepaskan gelar keningratannya dan turun ke bawah memperbaikai kondisi bangsanya karena sadar rakyat di sekelilingnya sedang mengalami keterpurukan,” tutur mantan Rektor ITS ini.

Sekitar pada tahun 1907, Omar Said menekuni dunia jurnalistik. Tulisannya menghiasi berbagai media cetak, dan isinyapun bernada kritis dan sangat tajam. “Saya kira Eyang mulai matang jiwa kebangsaannya ketika masuk dunia jurnalistik,” imbuh Hariono Sigid.

Di Surabaya dia tinggal di Paneleh VII, di tepi Sungai Kalimas. Rumah bernomor 29-31 itu menjadi saksi bisu “pergulatan ideologi” bangsa. Tjokroaminoto yang saat itu berusia 33 tahun tidak memiliki penghasilan lain, kecuali dari rumah kos yang dihuni 10 orang itu. Setiap orang membayar Rp 11. Istri Tjokro, Soeharsikin, yang mengurus keuangan mereka.

Banyak “alumni” rumah kos tersebut yang menjadi tokoh pergerakan. Sukarnomendirikan Partai Nasional Indonesia, sementara trio Semaoen, Alimin, dan Musso menjadi tokoh-tokoh utama Partai Komunis Indonesia, serta dilengkapi SM Kartosoewirjo dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar pikiran.

“Secara kontekstual, pada waktu itu Eyang memang menganjurkan murid-muridnya untuk berfikir bebas, terutama dalam hal ideologi dan pembebasan. Yang penting adalah rakyat terbebas dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Alhasil, ketiga paham ideologi perjuangan dan pembebasan tersebut lahir dalam sebuah rumah kos yang sangat sederhana,” ujar pria yang tinggal di Perumahan ITS ini.

Ketika Tjokro memimpin Sarikat Islam (SI) dengan 2,5 juta anggota, Belanda menjulukinya dengan “De Ongekroonde Koning Van Java (raja jawa yang tak bermahkota). Di bawah kepemimpinannya, SI mengalami kemajuan pesat dan berkembang menjadi partai massa. Tjokro menjadi salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dan selalu menggagas konsep Negara-bangsa di setiap kongres SI.

Pemikiran Tjokro banyak dituangkan dalam bentuk buku. Diantaranya yang terkenal adalah Sejarah Nabi Muhammad dan  Reglement Umum umat Islam, agar masyarakat meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam dan menjalankannya sesuai anjuran Nabi. Dalam hal wawasan dan kemerdekaan, dia menuangkannya dalam Muslim National Onderwijs. Sementara buku yang paling popular adalah Islam dan Sosialisme, sebagai penangkal faham sosialisme yang diusung kaum atheis dan komunis Indonesia.

Wasiat Tjokro yang sangat terkenal adalah ungkapan “lereno mangan sadurunge wareg”, yang berarti “berhentilah makan sebelum kenyang”. Pesan ini memang bersumber dari hadist Nabi Muhammadi SAW. Pesan ini bermakna agar generasi bangsa ini menghindari sikap rakus dan serakah. Selain itu juga pernah berujar salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”.

Masa-masa terakhir perjuangan sang guru bangsa ini mulai melihat tanda-tandanya. Di bulan Ramadhan 1353 H, Tjokro menderita sakit di Yogjakarta. Setelah sempat terbaring dan bangun beberapa kali, dia berpulang. Tepatnya pada hari Senin Kliwon, 17 Desember 1934, bertepatan dengan 10 Ramadhan 1353 H dalam usia 53 tahun. arief hanafi


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website